PRESIDEN BJ Habibi adalah kisah. Di sana kita dapat bercermin tentang demokrasi yang mulai mekar. Berkisah tentang mekarnya kebebasan pers, mendongeng tentang kebebasan intelektual dan menyaksikan komedi politik. Di kisah itu juga kita melihat ketabahan pemimpin dari rentetan hujatan dari segelintir intelektual dan pelaku politik.
Sebagai kisah, pena wartawan mengukir berderet kesalahan Habibie. Tidak hanya di kertas, di layar kaca pun tampak media menjadi mediator dari mulut sejumlah politik dan intelektual untuk menghabisi Habibie. Mulut mereka berbusa-busa dengan urat leher yang begitu tampak menegang. Akal mereka tampak briyan menganalisa, sekaligus mereka menunjukkan ke pemirsa kerendahan budi mereka.
Politisi, intelektual dan media massa sepertinya tak memberi ruang keadilan batin di tengah publik. Media lebih cenderung memilih dan mewawancara yang bersebelahan dengan Habibie. Di layar kaca tampak wajah-wajah ideal yang sibuk dengan perasaannya sendiri sebagai orang bermoral dan reformis.
Komentar apriori mereka jelas, bagaimana mengisi pikiran publik : Habibie prostatusquo, Habibie gagal. Mereka yang mendepak Habibie mungkin juga takut demokrasi tegak. Kuatir demokrasi akan mengabrukkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Politisi, intelektual dan media massa yang melakukan penggiringan opini publik untuk kepentingan golongan sempit, tentu saja menumbuhkan pembodohan publik. Mereka membuat limbah pencemaran akal dan pelumpuhan budi. Intelektual seperti ini memang bisa memenuhi pikiran rakyat dengan pikiran sampah karena tidak mampu memposisikan diri sebagai intelektual sejati. Tidak jujur. Edward Shil (1972) berkomentar, intelektual di negara-negara kolonial adalah kalangan yang menciptakan kehidupan politik. Mereka adalah penghasut, pemimpin sekaligus pelaksana politik
Apakah komentar apriori ini dapat dijadikan bahan sejarah bahkan rujukan untuk dikisahkan kepada anak cucu bahwa Habibe gagal? Adakah sejarah itu benar dan adil jika di zaman Habibie media massa salah satu rujukan pengukir sejarah bertindak tidak adil?
Media massa yang menjadi corong para politisi dan intelektual pilihan begitu leluasa berkomentar demokrasi seraya tak memperlihatkan keindependenannya. Apakah ini adalah keadilan sejarah?
Bagaimana mungkin pijakan itu dijadikan sejarah apalagi mereka itu dilandasi sikap apriori, bermotif golongan dan tidak tahu nilai serta cara-cara demokrasi. Bagaimana mungkin membangun impian demokrasi bila para intelektual tidak memberikan landasan politik yang bermartabat kepada rakyatnya. Berderet lagi gugatan bila diurai lebih jauh.
Hari-hari kepemimpinan Habibie memang hari-hari komentar sinis dan penuh tekanan: Gagal, rusuh, revolusi sosial dan disintegrasi bangsa. Hujatan demi hujatan bertumpuk, mengendap di hati ribuan bahkan jutaan pemirsa. BJ Habibie mungkin hanya mempu menelan air liur menghadapi sinisme di luar dirinya. Ketabahannya ternyata menumbuhkan cinta dan simpati.
Mereka yang menghujat Habibie dan media massa menyalurkannya mungkin kurang menyadari bahwa mereka itu turut menabung dan menumbuhkan kebencian pada dirinya sendiri beserta golongannya di hati simpatisan Habibie. Mereka pendek pikiran dan lupa bahwa hujatan itu kelak menjadi bumerang ketika golongan mereka bertahta. Andaikan betul bahwa motif mereka menggeser Habibie karena Habibie adalah simbol Makassar? Jika motif itu betul, maka betapa tidak adilnya hidup di peta ini.
Di Makassar, puluhan ribu massa pemuda dan mahasiswa bergabung turun ke jalan. Mereka mulai mengibarkan bendera : Sulawesi Merdeka. Mereka sangat tersinggung dengan para intelektual dan politisi yang berpikiran sempit, dan fanatisme suku.
Di balik itu pula, di tengah hujatan dan tekanan terhadap BJ Habibie, cinta dan kebesaran jiwa para intelektual Makassar tetap terkabarkan. “Lebih baik kehilangan figur daripada kehilangan demokrasi,” kata Prof. Mattulada, dengan air mana menetes. Betapa berat ungkapan cinta itu, sekalipun demokrasi itu sendiri hanyalah harapan yang sekadar menjanjikan.
Toh, semuanya telah berlalu. Kini Habibie hanya meninggalkan sepenggal kebenaran yang terselubung. Suatu waktu, kelak kita akan merindukan sosok berjiwa seperti Habibie.
Di sini kita juga boleh bertarung, akankah ada sosok presiden berjiwa seperti Habibie. Kita bertarung dalam perjalanan waktu, dan masa yang akan membuktikannya Kita hanya percaya pada kerinduan iklim demokrasi seperti kepemimpinan BJ Habibie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar